Dalam suatu seminar di awal tahun 2002, Pramoedya Ananta Toer melontarkan pernyataan yang menggelitik. Katanya, kurangnya kesadaran sejarah menyebabkan negeri ini kacau balau. Bahkan tidak mengoreksi diri.
Penulis yang sejumlah karyanya dibredel di masa Orde Baru itu menggugat, “Mengapa negeri ini dinamakan Indonesia? Bukankah itu artinya Kepulauan India? Itu salah, tapi kita tidak bisa dan tidak mau memperbaiki nama.”
Apalah arti sebuah nama, kata pujangga Inggris, William Shakespeare. Tentu akan lain persoalannya jika menyangkut nama sebuah negara. Kalaupun nama negara ini kemudian diganti, akan sederhanakah proses dan akibatnya?
Kata ‘Indonesia’ diperkirakan berasal dari kata Indos Nesos, suatu bahasa perdagangan kuno untuk kawasan sekitar Selat Malaka, yang berarti Kepulauan India. Tentu merupakan sebuah kerancuan jika Indonesia dianggap sama dengan India. Bagaimana bisa dua negara yang berbeda letak geografisnya itu disamakan?
Awalnya, Indonesia dikenal sebagai Hindia Belanda (Dutch Indies), Netherland Indies, atau Hindia Timur (East Indies). Seorang ahli geografi berkebangsaan Jerman, Adolf Bastan, yang dianggap pertama kali mempopulerkan nama Indonesia. Ia pertama kali menggunakan nama Indonesia dalam karyanya yang berjudul “Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipels (1884). Tentu saja yang dimaksudkan dengan ‘Indonesien‘ adalah ‘Kepulauan Nusantara’. Sejak itu, kata Indonesia menjadi lazim dalam khazanah ilmu pengetahuan, terutama dalam ilmu etnologi dan ilmu bahasa.
Namun, ada perkiraan bahwa nama Indonesia lebih tua daripada perkiraan semula. Diduga juga, seorang etnolog Inggris James Richardson Logan sudah memakai nama Indonesia pada 1850. Tepatnya dalam karangannya di “Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia” yang berjudul “The Ethnology of the Indian Archipelago“.
Begitupun G.W.Earl, dianggap sebagai pendahulu. Ia memakai istilah “Indu-nesians” dan “Malayunesian” untuk menunjuk penduduk kepulauan ini, meski tidak sampai pada penamaan Indonesia untuk kepulauan yang menjadi surga bagi perdagangan rempah-rempah saat itu. Earl menyebutkan kata ‘Indu-nesian‘ hanya dalam arti etnologis. Sedangkan Logan memberikan arti kata ‘Indonesia’ dari sudut geografis.
Logan tidak keberatan terhadap nama Indonesia, meski bagi orang Eropa kata itu kedengaran berbau bahasa Yunani. Menurut dia, kata ‘nusa’ -artinya pulau- yang dari bahasa Melayu mungkin sama tuanya dengan kata ‘nesos‘ dari bahasa Yunani.
Selanjutnya, sejak 1992 dalam dunia politik nama itu secara konsekuen dipakai oleh Perhimpunan indonesia (PI), gerakan yang beranggotakan para mahasiswa bumiputera di Belanda. PI, yang antikolonialisme dan imperialisme dengan tokoh sentral Bung Hatta, mempunyai agenda “Indonesia merdeka dari penjajahan”. Bersamaan dengan itu, pengertian dan konsep ‘Indonesia’ menjadi milik umum di kalangan kaum nasionalis Indonesia. Yang dimaksud dengan Indonesia tentunya seluruh wilayah yang tengah dikuasai Belanda.
Puncaknya terjadi pada 28 Oktober 1928, dengan adanya ikrar dari para pemuda, yang kemudian dikenal sebagai peristiwa Sumpah Pemuda.
Meski “kacau balau” seperti kata Pramoedya, sampai-sampai penyair Taufik Ismail pun menulis “Malu (Aku) Menjadi Orang Indonesia“, serta mengalami krisis di segala bidang dan ancaman separatisme, Indonesia tetap ada dan utuh hingga kini. Namanya pun tetap Indonesia, sebuah negara yang terbentang dari Sabang hingga Merauke dengan hapir 14.000 pulau yang dihuni oleh ratusan juta manusia dari beraneka etnis dan bahasa.
Penulis yang sejumlah karyanya dibredel di masa Orde Baru itu menggugat, “Mengapa negeri ini dinamakan Indonesia? Bukankah itu artinya Kepulauan India? Itu salah, tapi kita tidak bisa dan tidak mau memperbaiki nama.”
Apalah arti sebuah nama, kata pujangga Inggris, William Shakespeare. Tentu akan lain persoalannya jika menyangkut nama sebuah negara. Kalaupun nama negara ini kemudian diganti, akan sederhanakah proses dan akibatnya?
Kata ‘Indonesia’ diperkirakan berasal dari kata Indos Nesos, suatu bahasa perdagangan kuno untuk kawasan sekitar Selat Malaka, yang berarti Kepulauan India. Tentu merupakan sebuah kerancuan jika Indonesia dianggap sama dengan India. Bagaimana bisa dua negara yang berbeda letak geografisnya itu disamakan?
Awalnya, Indonesia dikenal sebagai Hindia Belanda (Dutch Indies), Netherland Indies, atau Hindia Timur (East Indies). Seorang ahli geografi berkebangsaan Jerman, Adolf Bastan, yang dianggap pertama kali mempopulerkan nama Indonesia. Ia pertama kali menggunakan nama Indonesia dalam karyanya yang berjudul “Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipels (1884). Tentu saja yang dimaksudkan dengan ‘Indonesien‘ adalah ‘Kepulauan Nusantara’. Sejak itu, kata Indonesia menjadi lazim dalam khazanah ilmu pengetahuan, terutama dalam ilmu etnologi dan ilmu bahasa.
Namun, ada perkiraan bahwa nama Indonesia lebih tua daripada perkiraan semula. Diduga juga, seorang etnolog Inggris James Richardson Logan sudah memakai nama Indonesia pada 1850. Tepatnya dalam karangannya di “Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia” yang berjudul “The Ethnology of the Indian Archipelago“.
Begitupun G.W.Earl, dianggap sebagai pendahulu. Ia memakai istilah “Indu-nesians” dan “Malayunesian” untuk menunjuk penduduk kepulauan ini, meski tidak sampai pada penamaan Indonesia untuk kepulauan yang menjadi surga bagi perdagangan rempah-rempah saat itu. Earl menyebutkan kata ‘Indu-nesian‘ hanya dalam arti etnologis. Sedangkan Logan memberikan arti kata ‘Indonesia’ dari sudut geografis.
Logan tidak keberatan terhadap nama Indonesia, meski bagi orang Eropa kata itu kedengaran berbau bahasa Yunani. Menurut dia, kata ‘nusa’ -artinya pulau- yang dari bahasa Melayu mungkin sama tuanya dengan kata ‘nesos‘ dari bahasa Yunani.
Selanjutnya, sejak 1992 dalam dunia politik nama itu secara konsekuen dipakai oleh Perhimpunan indonesia (PI), gerakan yang beranggotakan para mahasiswa bumiputera di Belanda. PI, yang antikolonialisme dan imperialisme dengan tokoh sentral Bung Hatta, mempunyai agenda “Indonesia merdeka dari penjajahan”. Bersamaan dengan itu, pengertian dan konsep ‘Indonesia’ menjadi milik umum di kalangan kaum nasionalis Indonesia. Yang dimaksud dengan Indonesia tentunya seluruh wilayah yang tengah dikuasai Belanda.
Puncaknya terjadi pada 28 Oktober 1928, dengan adanya ikrar dari para pemuda, yang kemudian dikenal sebagai peristiwa Sumpah Pemuda.
Meski “kacau balau” seperti kata Pramoedya, sampai-sampai penyair Taufik Ismail pun menulis “Malu (Aku) Menjadi Orang Indonesia“, serta mengalami krisis di segala bidang dan ancaman separatisme, Indonesia tetap ada dan utuh hingga kini. Namanya pun tetap Indonesia, sebuah negara yang terbentang dari Sabang hingga Merauke dengan hapir 14.000 pulau yang dihuni oleh ratusan juta manusia dari beraneka etnis dan bahasa.
0 komentar:
Posting Komentar